Dalam era digital yang semakin maju, sistem ujian berbasis komputer atau Computer-Based Test (CBT) telah menjadi metode yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Keunggulannya dalam efisiensi, kecepatan koreksi, dan fleksibilitas membuatnya menjadi pilihan utama dibandingkan ujian konvensional berbasis kertas. Namun, di balik kelebihannya, CBT juga menghadirkan tantangan baru, salah satunya adalah meningkatnya potensi kecurangan akademik dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI), seperti ChatGPT.
ChatGPT dan teknologi serupa menawarkan akses cepat terhadap informasi dan mampu memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan dalam hitungan detik. Hal ini membuka peluang bagi siswa untuk mencari jawaban secara instan selama ujian berlangsung, terutama jika pengawasan kurang ketat atau dilakukan secara daring. Kemudahan akses ini memunculkan kekhawatiran terkait kejujuran akademik dan validitas hasil ujian.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa teknologi AI telah mengubah cara siswa belajar dan mengerjakan tugas, termasuk saat menghadapi ujian. Dalam ujian berbasis CBT, yang sering dilakukan melalui perangkat komputer atau tablet, siswa yang memiliki akses ke ChatGPT dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan jawaban yang seharusnya mereka pikirkan sendiri. Hal ini mengarah pada penyalahgunaan teknologi yang dapat merugikan proses pembelajaran jangka panjang.
Meskipun demikian, teknologi AI juga dapat dimanfaatkan secara positif dalam dunia pendidikan. Sebagai alat pembelajaran, ChatGPT dapat membantu siswa memahami konsep-konsep sulit, menyusun ide, dan mengasah kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan bukanlah sekadar melarang penggunaannya, melainkan mengembangkan strategi evaluasi yang lebih adaptif. Ujian berbasis analisis, esai, atau studi kasus yang memerlukan pemikiran kritis dan pemahaman mendalam dapat menjadi alternatif yang lebih efektif dibandingkan soal pilihan ganda yang mudah dicari jawabannya di internet.
Selain itu, institusi pendidikan perlu meningkatkan pengawasan saat ujian berbasis CBT berlangsung. Pengawasan langsung oleh pengawas ujian, serta pengembangan soal yang lebih menekankan pada pemahaman konsep daripada sekadar hafalan dapat mengurangi risiko kecurangan. Pendidikan etika dalam penggunaan teknologi juga harus menjadi bagian dari kurikulum agar siswa memahami dampak dari tindakan tidak jujur dalam ujian.
Sebagai langkah teknis dalam mengurangi potensi kecurangan, institusi pendidikan dapat menerapkan topologi Local Area Network (LAN) untuk ujian berbasis CBT. Dengan sistem ini, komputer yang digunakan dalam ujian hanya terhubung ke server lokal tanpa akses langsung ke jaringan internet. Hal ini memungkinkan penyelenggara ujian untuk mengontrol akses informasi secara ketat dan mencegah siswa membuka situs eksternal atau menggunakan ChatGPT selama ujian berlangsung. Selain itu, penerapan LAN juga dapat meningkatkan stabilitas koneksi dan mengurangi risiko gangguan teknis yang dapat terjadi akibat ketergantungan pada jaringan internet publik.
Menjawab tantangan ini membutuhkan keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan penerapan nilai-nilai akademik yang kuat. Pendidikan bukan sekadar memperoleh nilai tinggi, tetapi membangun karakter, integritas, dan keterampilan berpikir kritis yang akan berguna dalam kehidupan nyata. Dengan inovasi yang tepat, pengawasan yang efektif, serta pembelajaran yang berorientasi pada pemahaman mendalam, teknologi dapat menjadi sekutu dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, bukan sekadar alat untuk mencari jalan pintas dalam ujian.
Oleh: Muhamad Hilmi